Kecelakaan Kedua (Mas An)
Sekarang aku benar-benar merasa panik dan ketakutan. Aku takut dan panik sekali. Aku mohon, aku benar-benar panik.
Kemarin lusa, malam hari, aku kecelakaan lagi. Kecelakaan kedua dalam waktu sebulan. Dan kecelakaan kali ini tidak akan pernah lepas dari pikiranku sampai kapanpun. Ini akan selalu menggangguku, dan aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Aku sedih, aku takut, aku khawatir, aku panik. Parahnya adalah, ini melibatkan teman baikku di kantor, Mas An.
Ahhh tolong, aku ketakutan sekali sekarang. Aku tidak tahu bagaimana cara mencurahkan perasaan khawatirku ini. Dan kepada siapa. Hal pertama yang terlintas dipikiranku adalah, menulis ini.
---
Jarak kantor ke kosanku tidaklah jauh, sehingga terkadang aku tidak memakai helm ketika pergi ke kantor. Malam itu, jam 19.30 WITA, aku hanya iseng mengajak Mas An makan sepulang kerja. Mas An bilang dia punya rekomendasi bakso yang tidak jauh dari kantor. Aku mengiyakannya, dan aku akan mengikuti arahan maps dari Mas An yang akan aku bonceng.
Sebelum berangkat, aku sadar bahwa aku tidak membawa helm. Mas An membawa helm, tapi Mas An bilang, "udah, kamu aja yang pake. kan kamu yang nyetir di depan. lagian tempatnya gak jauh".
Aku berjalan pelan sekali. Mungkin sekitar 20-30km/jam. Di perjalanan, aku hanya ngobrol dan tertawa dengan Mas An.
"wih, udah lama banget aku gak dibonceng kamu, gar".
Semenjak Mas An pindah kos, aku memang jarang mengajaknya jalan-jalan lagi. Dia bilang, dia mau bicara sesuatu soal pekerjaannya di tempat makan nanti. Karena bulan depan, kontrak dia di kantor akan habis.
"ini belok ke kanan apa ke kiri mas?"
"ke kanan"
Aku masih berjalan pelan.
"gar, nanti ada pertigaan, belok kiri ya"
"oke mas"
Aku masih mengikuti arahan Mas An. Sampai aku tiba di suatu jalan bernama Jl. Setra Padonan di Dalung. Jalannya gelap sekali, dan setelah aku cari tahu kemarin, kami berdua ternyata mengarah ke kuburan bali. Aku gak tahu kenapa bisa kesana, tapi sepertinya maps mengarahkan ke jalan yang salah.
"gelap banget tempatnya mas"
Aku masih berjalan pelan, hingga entah dari mana, tiba-tiba aku melihat palang portal untuk masuk ke kuburan. Palang itu dalam posisi tertutup dan aku terlambat menyadarinya. Aku benar-benar tidak menyadarinya. Warna palang itu abu-abu dan dengan cahaya di belakangnya.
Aku mencoba ngerem, tapi tidak sempat. Posisi palang itu tepat berada di wajahku. Aku melihat dan mengingat dengan jelas bagaimana palang itu membentur helm di kepalaku dengan keras. Kepalaku langsung ngejedag ke belakang dan aku terjatuh.
Aku mencoba sadar atas apa yang baru saja terjadi. Aku merasa kaget sekali, tetapi rasa traumaku masih membuat segala sakit di badanku tidak terasa. Aku teringat dengan Mas An yang aku bonceng di belakangku. Aku bangun dan melihat Mas An yang terbaring di jalan. Dia terpental dari motor.
Aku melihat Mas An disana. Dia kejang-kejang dan matanya melotot.
"Ya allah! Mas An!"
"Darah! ya ampun kepalanya berdarah!"
Orang-orang tidak akan menyadari betapa seriusnya saat itu dan seberapa paniknya aku melihat Mas An yang kejang-kejang dan kepalanya bocor karena tidak memakai helm. Kepalanya tidak menabrak palang, tetapi dia menabrak aspal. Itulah mengapa bagian yang bocor adalah kepala bagian belakangnya.
"Mas, liat aku mas! Liat mataku!"
Dia tetap kejang-kejang disana.
Warga mulai berdatangan. Salah satu dari mereka menelepon ambulan. Mereka memintaku menggendong Mas An ke pinggir jalan.
Setelah menepi, salah satu warga memberiku tisu dan bilang kepadaku,
"Mas, ini tisu. Tahan darahnya dari kepalanya. Suruh dia nunduk, jangan terlentang"
Jaketku penuh darah. Aku masih memeluk Mas An dan mencoba membuat dia sadar sambil menahan darah di kepalanya.
"Mas, gak papa mas. Semua aman. Ada aku. Sadar mas. Gak papa"
Aku masih melihat Mas An yang kejang-kejang sampai dia mulai mereda. Dia teriak, "haaaaaaaa!!". Mas An langsung muntah-muntah.
Pelukanku tidak lepas darinya. Aku benar-benar panik dengan kondisi Mas An saat itu. Aku mencoba menyadarinya, namun aku juga bilang kepadanya bahwa semua akan baik-baik saja. Mas An masih muntah-muntah dan aku memohon kepada warga yang membantuku. Aku selalu bertanya kapan ambulan akan datang.
"Iya, sabar ya dek. Kita lagi telepon supaya ambulan datang"
Sudah sekitar 5 menitan aku duduk disana. Melihat kondisi Mas An yang seperti itu. Sampai salah satu warga berkata bahwa ambulannya ternyata rusak. Kami semua sepakat untuk membawa Mas An ke puskesmas untuk pengobatan pertama. Aku, tinggalkan motorku yang masih jatuh itu. Bersama salah satu warga, kami langsung membawanya ke puskesmas dengan menaiki motor.
Kami sampai di puskesmas. Mas An langsung dibaringkan di kursi. Perawat memberinya oksigen.
Mas An mulai berbicara dengan setengah sadar.
"Aku dimana ini? Ada apa ini?"
"Mas An tadi jatuh. Ini sekarang kita lagi berobat"
"Ya ampun, aku jatuh? Kok bisa?"
Disana, aku sedikit berdebat dengan perawat. Mereka bilang, jika benturan kepala sampai mengalami muntah, puskesmas tidak bisa melayaninya. Mas An harus dibawa ke Rumah Sakit. Salah satu perawat memesan Grab Car untuk membawa kami ke RS. Perawat yang memberi Mas An oksigen bilang kepadaku,
"Semoga gak ada apa-apa ya. Oksigennya gak usah bayar ya. Saya inget saya juga punya anak yang merantau di Jakarta"
"Makasih banyak ya bu!"
Aku mengangkat Mas An ke dalam mobil. Mulai saat itu, hanya aku dan Mas An. Semua warga yang menolongku dan perawat tidak mengikuti kami ke Rumah Sakit.
"Mas, gak papa. Semua bakal baik-baik aja. Aku bakal sama Mas An di RS. Lihat mataku! Pegang tangan aku!"
Mas An masih setengah sadar. Dia mulai bertanya pertanyaan-pertanyaan yang sama. Aku khawatir sekali.
"Aku mau kemana ini?"
"Mas An jatuh, ini kita mau berobat"
"Ya ampun jatuh? Kita mau ke rumah sakit?"
"Iya. Semua akan baik-baik aja mas. Percaya sama aku."
Selang beberapa waktu, dia terdiam. Aku tidak boleh membiarkannya tertidur atau pingsan. Aku terus mengajaknya ngobrol. Mas An kembali bertanya.
"Aku mau kemana ini?"
"Kita mau berobat mas. Mas An jatuh"
"Kita mau ke rumah sakit?"
"Iya mas"
Rasanya, aku sangat panik. Satu-satunya yang ada untuk Mas An hanyalah aku. Tetapi tidak ada siapa-siapa yang bisa aku mintai pertolongan. Aku terus mengajak Mas An ngobrol.
"Inget gak mas, tadi kan kita mau makan, cari bakso kan? Bakso apa deh namanya?"
"Oh iya! Kita kan mau makan ya! Duh! Kok bisa jatuh sih?"
Aku tidak pernah berhenti membantu Mas An mengingat kronologi kejadiannya. Aku selalu memberitahunya atas apa yang terjadi sebelum kecelakaan. Tentang apa yang baru saja kita obrolin, tentang mau kemana kita, mau apa kita, jam berapa sekarang, dan lain-lain.
Kita sampai di UGD. Aku mengangkat Mas An untuk berbaring ke hospital bed. Aku memegang tangannya dan terus meyakinkannya bahwa semua gak apa-apa dan semua akan baik-baik saja.
Mas An langsung mendapat pertolongan di UGD. Kepalanya dijahit dan seluruh badannya di rontgen. Hasil diagnosa pun keluar.
Mas An mengalami patah tulang selangka kanan, dan cidera kepala. Tulang selangka harus dioperasi. Beruntung, cidera kepala tidak sampai menyentuh tulang kepala sehingga tidak luka serius pada otak. Namun tetap, kepalanya harus dijahit. Dagunya juga.
Aku benar-benar lemas. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa bisa begini? Ada apa denganku?
---
Aku bulak-balik sendirian mengurus registrasi rumah sakit. Mas An tampaknya mulai sadar atas apa yang baru saja terjadi. Aku memegang tangannya.
"Tenang mas, aku disini. Gak akan ada apa-apa. Aku akan temenin sampe sembuh".
Setelah itu, aku menelepon salah satu teman kerja yang lain, Mas Andre. Dia langsung datang.
Mas An harus diopname selama beberapa hari di Rumah Sakit. Setelah pengobatan di UGD selesai, Mas An langsung dibawa ke kamarnya. Sekitar jam 1 malam, Mas Andre mengantarku kembali ke lokasi kejadian untuk mengambil motorku.
Aku bertemu dengan salah satu warga yang menolongku tadi. Aku menjelaskan sedikit ke Mas Andre tempat dimana tepatnya aku kecelakaan. Bahkan bekas darahnya masih terlihat.
Warga tersebut ternyata bilang, bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang pernah kecelakaan di tempat tersebut.
"Memang sering terjadi tabrakan disini, dek. Memang harusnya portalnya dikasih penanda supaya lebih jelas. Totalnya udah 4 korban termasuk adek ini tadi".
"Oh, gitu pak. Iya, saya bener-bener gak sadar ada portal disitu"
Memang sebenarnya itu adalah jalan memutar lewat kuburan. Namun, kalau kita menggunakan aplikasi google maps, pasti selalu diarahkan melewati jalan itu.
Aku mengambil motorku yang sedikit rusak bagian kirinya. Aku berpamitan dan berterima kasih kepada warga tersebut.
Beberapa detik setelah aku pergi dengan motorku, aku benar-benar masih berada di jalan yang sama, tiba-tiba terdengar suara tabrakan lagi. Benar saja, secara kebetulan, terjadi kecelakaan lagi ditempat yang sama.
Astaga! Kenapa lagi ini!
Aku dan Mas Andre langsung putar balik dan membantu orang itu. Orang itu terkapar duduk di jalan. Kepala bagian depannya bocor dan darah mengalir membasahi wajahnya. Aku membantunya dengan memberi tisu dari salah satu warga tadi.
"Pak, ini, tahan darahnya pakai tisu ini. Tetap melihat keatas! Jangan nunduk!"
Aku melihat kepalanya pecah lumayan besar. Dan mau tidak mau, aku rasa dia wajib dibawa ke rumah sakit untuk dijahit.
Orang itu hanya menahan luka di kepalanya sambil berdoa.
"Ya tuhan yesus, Ya tuhan!"
Aku menawarkan diri untuk membawanya ke rumah sakit.
"Bapak mau saya antar ke rumah sakit? Itu harus dijahit pak!"
"Gak usah! saya telepon adik saya aja nanti dia jemput saya".
Aku kembali bicara dengan salah satu warga sekitar sana.
"Pak, ini benar-benar bahaya pak. Bahkan darah teman saya belum kering, sudah terjadi lagi. Mohon setidaknya saat ini dikasih tanda ataupun dikasih kain saja dijembrengin di portalnya"
Orang tersebutpun masuk ke rumahnya dan mengambil karung yang kemudian dilekatkanya ke portal tersebut sebagai tanda. Semoga tidak ada kejadian lagi.
Aku tiba-tiba membayangkan, dan mengingat rasanya menabrak portal itu. Hal ini selalu menghantuiku bahkan sampai saat ini. Aku benar-benar secara nyata bisa bernasib sama dengan orang yang baru saja kecelakaan. Kepalaku bisa saja pecah, bocor, ataupun pingsan seketika. Atau mungkin bernasib sama seperti Mas An yang dagunya terbelah dan tulangnya patah. Tetapi setelah aku renungi dari awal rencana aku mengajak Mas An makan, aku yang diberi helm oleh Mas An, posisi terjatuhku yang seperti itu, aku menyadari maha baiknya tuhan. Ia masih memberiku kesempatan untuk sehat.
Dan posisi portal itu tepat di kepalaku yang terlindung helm. Aku tidak bisa membayangkan bila tinggiku dan posisi duduk di motorku berada lebih tinggi dari portal. Otomatis portal itu akan menabrak dadaku yang bisa memungkinkan terjadinya patah tulang dada atau tulang rusuk. Terima kasih Ya Allah.
---
Setelah semua terasa aman dan jelas, aku meninggalkan mereka untuk kembali ke RS. Kemudian bersama Mas Andre, aku makan malam di dekat sana. Sehabis makan, Mas Andre pulang ke kosannya dan aku harus kembali untuk menemani Mas An di rumah sakit. Sebelum itu, aku mampir ke Indomaret untuk membeli susu dan roti.
Aku kembali ke rumah sakit. Tak terasa sudah setengah 3 pagi. Aku melihat Mas An tertidur di kasurnya. Aku shalat isya, lalu merapihkan ruangannya. Setelah itu, aku hanya memandanginya dan menangis sepanjang malam. Sekitar jam 4 pagi, aku tidur di lantai yang aku alasi bantal. Jam 6 pagi aku terbangun. Aku ngobrol sedikit dengan Mas An. Ketika ia tertidur, lagi-lagi aku menangis.
Aku merenungkan atas apa yang telah aku perbuat dan apa yang telah terjadi. Aku masih khawatir, panik, dan tidak ada satupun yang menenangkanku disini. Aku juga takut disalahkan atas kejadian ini.
Tak lama dari itu, mulai berdatangan teman-teman yang menjenguk Mas An.
Sore harinya, aku disuruh pulang oleh Kak Nila. Aku memang sangat kurang tidur, dan mungkin juga badanku memerlukan bed rest karena aku juga adalah salah satu korbannya.
Kak Nila memberiku beberapa nasihat. Ini adalah kecelakaan kedua ku dalam sebulan dan kedua kecelakaan ini benar-benar berdampak parah.
"Gar, kamu tuh kecapean. For some reason mental kamu lelah. Tapi kamu gak mau mendengar badan kamu! Kamu udah melaksanakan tanggung jawab kamu nolongin An, tapi kamu jangan lupa sama diri kamu juga. Kamu harus pulang dan istirahat. Kamu juga harus periksa badan kamu jangan keras kepala untuk hal ini! Takutnya ada pendarahan dalem dan kamu gak sadar!"
Yah, akhir-akhir ini aku benar-benar kelelahan. Jujur saja, sejak SMK aku ingin sekali ngobrol dengan psikolog. Hanya saja selalu aku tunda dengan alasan "Masa sih harus kesana? Memang selebay dan selemah itu? Memangnya perlu banget ya?". Sampai saat ini, aku benar-benar mulai merasakan dampaknya secara fisik. Fokusku menurun. Aku tidak bisa fokus ke jalan karena setiap aku berkendara, aku selalu teralihkan oleh pikiran yang meledak di otakku. Bahkan aku seringkali tidak khusyuk dalam shalatku. Berkali kali aku mengulangnya karena lupa rakaat. Aku juga sering merasakan reflek yang tak terduga dari badanku seperti kepala yang bergerak secara tiba-tiba, dan kaki yang berdenyut tak terkendali.
Itu sebabnya untuk saat ini, aku terus menulis segala hal yang terjadi dan segala hal yang aku rasakan di blog ini, untuk mencurahkan segala perasaanku. Aku pergi ke tempat-tempat baru untuk mengalihkan kesedihanku. Sampai aku sadari, semua itu adalah pengalihan, bukan penyembuhan. Benar, aku harus lebih peka terhadap diriku. Aku harus mendengarkan badanku.
Aku pulang ke kosku dengan perasaan aneh atas apa yang telah terjadi. Setelah ibadah, aku memutuskan untuk tidur lebih cepat. Sepanjang malam itu, aku mimpi buruk sekali. Aku bangun dengan perasaan takut dan deg-degan.
Aku terbangun dengan perasaan badan yang remuk. Rasa sakit yang kemarin belum aku rasakan, ternyata baru kurasakan sekarang. Aku tidak bisa menengok ke kanan dengan sempurna. Jempol kakiku juga sakit dan pinggangku keram. Aku harus cek kesehatan hari ini.
---
Sehabis ini, aku akan kembali ke RS untuk menjenguk kembali Mas An dan aku harus ke kantor polisi untuk mengurus beberapa berkas asuransi dan untuk dimintai keterangan.
---
Aku baru saja selesai dari kantor polisi. SIM dan STNK ku disita polisi. Seharusnya motorku juga disita, namun polisi sangat mau membantuku meringankan segala proses. Mereka bilang motorku boleh dibawa dengan memberi surat kuning sebagai pengganti SIM dan STNK. Nantinya, aku akan kembali ditelepon mereka. Mereka bilang selanjutnya aku akan berhadapan dengan pengadilan dan kuasa hukum. Namun lagi, mereka benar-benar mau membantuku supaya segala prosesnya berjalan tidak lama, dipermudah, dan baik-baik saja.
Aku kembali ke RS. Kondisi Mas An sudah membaik. Dia sudah bisa duduk dan berdiri. Meskipun begitu, aku masih takut karena tulang selangkanya masih rentan karena belum dioperasi. Dia akan dioperasi besok, dan aku akan ada disana menemaninya. Sore ini, aku akan cek kesehatan di klinik.