Hmm..

Semua berawal di tahun 2015. Aku yang waktu itu berusia 13 tahun akhirnya merasa jatuh cinta untuk pertama kali. Begitu banyak kebetulan yang selalu mempertemukan kita. Beberapa tidak masuk akal. Saat pertama kali melihat wajahnya di perkenalan mos di kelas 7.1 dulu, aku gak pernah nyangka bahwa dia akan menjadi orang yang memiliki peran penting di hidupku bertahun-tahun kedepan. Beribu kenangan, beribu tulisan tentang dia sejak 7 tahun yang lalu. Hubungan ini gak pernah benar-benar jelas.

Kelas 9, akhirnya kita sama-sama mengetahui kalau kita saling suka, namun ini masih belum sepenuhnya jelas. Aku yang terlalu cupu, dan dia yang terlalu risih dengan respon teman-teman terhadapnya. Namun dengan sedikit kejelasan ini, aku tahu bagaimana harus membuat dia senang.

Namun, tiba-tiba setelah perpisahan SMP di pertengahan tahun 2018, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Aku waktu itu masih dengan pikiran rumitku, "apakah aku yang masih kecil ini bisa bertanggung jawab atas hati dan kebahagiaan dia? sementara aku masih bergantung kepada orang tua". Maka aku membiarkan dia pergi. Setelah itu, aku kaget karena dia berkata bahwa aku 'terlalu mudah' melepaskannya dan dia meragukan perasaan ku ini, dia anggap main-main.

![Image](../images/Screenshot from 2022-04-12 16-50-00.png "Image")

Dia cerita ke teman-temannya dan menangis. Sejak saat itu dan seterusnya, aku sangat jarang mendengar kabar darinya. Dia sangat sulit dihubungi. Dia meninggalkanku dengan rasa bersalah.

![Image](../images/Screenshot from 2022-04-12 16-41-36.png "Image")

Sejak saat itu, aku hanya menjauh sebagai teman sementara dia menjauh sebagai orang asing. Dia gak mau menghubungi ku. Berbagai sosmedku sudah pernah dia blokir saat itu walau akhirnya kita se-followan lagi. Sepanjang hari setelah itu, aku terus-terusan menyalahi diri sendiri dan selalu berkata, "apa iya yang dia katakan itu benar? apa iya aku melepaskan dia terlalu mudah?". Selama 2,5 tahun aku ternyata masih merasa bahwa hubungan ini berakhir karena kesalahanku.

Hampir 3 tahun kemudian, perasaanku terhadapnya ternyata gak pernah berubah. Setelah beberapa tahun, aku bertemu dia lagi di beberapa reuni.

2021, tahun dimana aku telah siap secara mental dan sudah gak bergantung kepada orang tua, aku sudah mantap untuk memastikan bahwa "aku suka sama dia". Sudah gak ada lagi pikiran serumit SMP dulu. Tepat ketika aku ingin confess ke dia via whatsapp, di saat itu juga aku sadar bahwa whatsaap ku diblokir dia. Aku gak paham. Kita saat itu masih canggung ketika bertemu dan gak pernah ada obrolan panjang. Apa salahku? Kenapa aku di-block lagi?

Aku gak peduli. Aku tetap mau confess ke dia dengan berbagai cara. Akhirnya aku bilang ke dia via dm instagram. Dan hal pertama yang aku sampaikan saat itu setelah lama sekali gak chatingan adalah, "aku minta maaf". Permintaan maaf ini adalah dalam konteks karena aku telah membiarkan dia pergi terlalu mudah pas SMP dulu.

![Image](../images/Screenshot from 2022-04-12 16-49-00.png "Image")

Setelah aku confess, dia bilang, "maaf kalau kedepannya kamu ngerasa aku bakal ngejauh", "makasih udah jujur dan makasih udah ngerti". Rasa itu sakit, seperti perasaan yang tak terbalaskan. Tapi aku lega dan bilang "iya aku paham, makasih buat semuanya".

Tetapi, beberapa minggu setelahnya, dia menghubungi ku via whatsapp. Aku lega karena aku sudah gak diblok lagi. Dia bilang kalau dia khawatir dan hanya ingin tetap peduli kepadaku. Tapi saat itu, entah kenapa aku merasa banyak perbedaan di dia. Dia banyak main-main soal hati dan memberi harapan candaan.

Di hari ulang tahunnya, aku mencoba merayakannya. Untuk pertama kalinya, aku mengunjungi dia di rumahnya. Memberi kado yang sudah kupersiapkan dari 2 bulan sebelumnya. Sangat seru mempersiapkan semuanya. Dari mulai bulak balik Metro - Bandar Lampung untuk mencari barang yang cocok, beli bungkus kado, minta tolong temenku di sekolah untuk packing, membuat website ucapan hari ulang tahun, sampai hari dimana aku memberi kado itu secara langsung. Dia bilang bahwa dia sangat suka. Dan aku senang karena dia suka hadiahnya.

Seiring berjalannya waktu, semakin mulai sering lagi kita ngobrol, aku justru merasa dia semakin main-main.

![Image](../images/Screenshot from 2022-04-12 16-33-18.png "Image")

![Image](../images/Screenshot from 2022-04-12 16-36-05.png "Image")

Dia selalu memberi harapan yang tidak jelas, mempermainkan, menggantung, dan bercanda-canda. Bodohnya, aku selalu membalasnya dengan memastikan dia selalu merasa bahagia dan berharga setiap hari. Sampai akhirnya dia baru confess karena aku mau pergi ke Bali 4 hari sebelumnya lewat telepon. Dia confess banyak hal dan juga mengenai perasaannya kepadaku. Perasaan dia sama seperti perasaanku kepadanya.

Besoknya dengan sedikit nekat, aku menghampiri dia di rumahnya untuk bicara. Aku sama sekali gak mau meninggalkan kesedihan buat dia karena kepergianku. Aku ingin semuanya jelas. Bagaimana bisa aku meninggalkan dia dengan kesan terakhir: dia menangis di telepon dan putus asa kalau kita gak akan pernah ketemu lagi karena aku akan pergi jauh?

Tapi apa yang ku dapat sekarang? SEBALIKNYA. Bulan lalu, dia yang mengakhiri. Dengan sadar dia meninggalkan kesedihan untuk ku dengan hanya bilang "maaf kalau ini meninggalkan kesedihan buat kamu". Dia mengakhiri hubungan ketika semua sedang berjalan baik-baik saja, tanpa pernah ada masalah, tanpa pernah ada keributan. Dia mengakhirinya lewat telepon dan kali ini, aku yang bicara sambil sesenggukan (kalau diingat, aku benci sama diriku yang lemah itu).

Aku merasa de javu. Tapi bedanya, aku yang memulai hubungan ini dengan menghampirinya untuk membuat semuanya jelas dan aku tidak mau meninggalkan kesedihan dan sakit hati untuk dia. Sedangkan dia yang mengakhiri hubungan ini dengan tegas dan sadar telah meninggalkan kesedihan, sakit, dan kekecewaan untukku hanya dalam 1 jam dengan masih tidak jelas dan menggantungkan harapan.

Di hari ulang tahunnya tahun 2021, aku mengirim hadiah dengan penuh persiapan dan sebuah kalimat berisi, "kamu berharga. kamu bijak. kamu baik. kamu menginspirasi. kamu kuat. kalau kamu gak percaya, aku percaya. semoga allah selalu bersamamu". Namun di hari setelah hubungan berakhir, dia mengirim barang-barang random. Dia juga mengirim surat yang malah berisi, "aku mencoba untuk peduli dengan caraku, kalau kamu bilang bahwa aku gak paham perasaan kamu, maka aku gak harus berharap kamu paham perasaan aku juga. Dan kalau memang benar kita gak bisa saling paham, semoga bisa bertemu dengan yang lain". Ah, bagiku itu tak lain hanyalah sekedar balas budi dan menyakiti, tanpa ada kesan sama sekali. Dia juga minta kalau aku tidak mau menerima kadonya, kasih saja ke yang membutuhkan.

Hubungan ini dimulai dengan awal yang baik oleh keseriusan dan niat ku, namun diakhiri dengan tidak baik oleh kesepihakan dan ketidakjelasan dia. Dan aku gak paham kenapa aku gak bisa meninggalkan dia dalam ketidakjelasan sementara dia bisa. Kenapa aku gak bisa meninggalkan dia dengan kesedihan sementara dia bisa. Kenapa aku gak bisa seharipun mencoba membuat dia marah, sementara dia bisa. Kenapa aku yang mulai dan dia yang mengakhiri. Kenapa aku dengan senang memperkenalkan dia ke semua keluargaku sementara dia menyembunyikanku dari keluarganya seperti adanya aku adalah sebuah kesalahan.

Padahal kalau dijalani, hubunganku dengannya berjalan sangat normal dan gak ada yang salah sama sekali. Kita nggak setiap hari seperti orang pacaran, bertemu intens cuma setahun 2 kali. Bagiku, kita justru lebih seperti teman curhat dan teman belajar. Tahu apa yang tidak normal? Blokir nomor telepon dan berharap kita jadi orang asing (yang sekarang sedang terjadi) karena ini melibatkan perasaan dari dua orang yang bukan muhrim.

Kalau pemahaman dia ini adalah soal perintah agama, memang sudah susah. Perdebatan apapun selalu berujung pada "ini adalah perintah tuhan", atau bisa lebih parah, membuat ku terkesan seperti "pendosa", "orang maksiat", atau "melawan perintah allah". Dia gak melihat dalam konteks hubungan yang kita jalani. Dia melihat konteks stereotipe "pacaran" secara umum, dan bagaimana pendapat orang sekitar yang dia anggap 'paham agama' tentang itu. Soal berbagai ancaman dan dosa yang menanti jika 2 orang yang bukan muhrim saling menaruh perasaan.

Aku sudah sangat sangat fleksibel. Aku membiarkan dia gak save nomorku, menyembunyikan statusnya dariku, mengikuti keinginannya untuk menahan chat dan telepon jika dia sedang bersama keluarganya. Apapun, asal dia nyaman. Namun, untuk kali ini, dia tidak mau bicara. Dia dengan tegas dan mantap mengakhiri hubungan tanpa mau berdiskusi. Banyak perbuatan ku yang dulu kuanggap, "apapun demi dia", sekarang malah membuatku benci diriku sendiri. Karena aku bodoh dan lemah dan terlalu lembut sebagai seorang manusia yang memiliki titit. Tidak seperti teman-teman ku yang lain yang bisa seenaknya menyakiti perempuan dan gonta-ganti pasangan dengan mudah.

---

Hmmmmm.. Bagaimanapun juga, dia yang pernah membuatku semangat. Dia yang pernah membuat hari-hari ku berwarna. Dia yang pernah menjadi tempat bertukar cerita. Dia juga sebenarnya sudah minta maaf karena dulu dia selalu main-main disaat aku sudah sangat serius. Dia yang pernah menjadi satu-satunya orang yang bisa aku ajak bicara dan terlihat lemah. Dia yang pernah membuat aku bahagia. Dia selalu minta maaf ketika dia merasa bersalah dan aku dengan lemah selalu memaafkan.

Dia hanya memikirkan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Dia hanya berfikir bahwa alam ini bergerak hanya untuknya. Dia hanya belum tahu rasanya tidak dihargai dan disakiti dalam sebuah hubungan (semoga itu gak pernah terjadi).

Berakhirnya aku dengan dia membuatku sadar betapa banyak orang yang peduli denganku. Aku hampir saja membenci kenapa hal ini terjadi. Sampai aku sadar bahwa tidak ada yang harus aku sesali. Semua hal yang terjadi, baik ataupun buruk, selalu memiliki hikmah. Tidak ada yang sia-sia dari perjalanan panjang dan rumit antara aku dan dia. Dan diriku di masa depan mungkin saja akan bersyukur hal ini terjadi karena hal ini lah yang membuatku banyak belajar dan merubah diriku.

Aku gak bisa merubah dia. Yang bisa aku ubah adalah sudut pandangku sendiri.

Seperti yang ada di lirik salah satu lagu favoritku. Bahwa sebenarnya aku akan paham betapa aku membutuhkan cahaya hanya ketika aku berada dalam gelap. Aku akan paham betapa aku merasa berada di ketinggian hanya ketika aku merasa rendah. Aku akan paham betapa aku membenci perjalanan hanya ketika aku merindukan rumah.

Dan hanya tahu betapa aku amat mencintainya hanya ketika aku sudah bisa dengan ikhlas membiarkan dia pergi.

Tidak semudah berkata, dan menulis. Ini akan melibatkan banyak hal, termasuk teman-teman dan orang tuaku. Dan apakah aku bisa membuka hati lagi?

Usiaku saat ini 20 tahun. Seharusnya banyak yang musti diurus, banyak yang musti diraih, banyak yang musti dicoba.