Aku sangat suka traveling. Padahal, sejak kecil, aku sama sekali gak pernah diajak kemana-mana sama keluarga. Gak pernah ada liburan dan acara bersama apapun di keluargaku. Cukup disayangkan menemukan fakta bahwa semua canduku soal pergi jauh disebabkan oleh beberapa kesedihan yang kualami.

Puluhan pantai sudah kukunjungi, 6 gunung sudah kudaki, ribuan kilometer sudah kutempuh dengan mengendarai motor sendirian. Dari pulau sumatra, jawa, bali, dan lombok. Apakah itu worth it? Tentu saja iya!

Selalu ada banyak hal yang kutemukan ketika berjalan jauh. Memperhatikan orang-orang sekitar, melihat perbedaan yang kontras ketika mengunjungi desa dan kota, memperhatikan segala kebudayaan dan agama yang berbeda. Aku juga sangat menikmati tantangan dan kesulitan yang ada. Hampir meninggal di gunung slamet, kabel kopling motor putus di daerah pegunungan di jawa barat ketika perjalananku motoran dari bali ke jakarta, kulit belang dan mengelupas karena sunburn, mabuk perjalanan di kapal menuju lombok, dan banyak lagi.

Jadi, hal apa saja yang kupelajari selama berjalan jauh?

Pertama, bahwasanya aku bukanlah pusat alam semesta. Aku dulu berfikir bahwa semua yang berjalan di hidup ini hanya untukku saja. Seperti hanya aku yang hidup di dunia ini. Aku memandang masalah yang ku punya adalah masalah terberat yang orang lain tidak akan pernah paham. Aku tidak peduli dengan apa yang orang lain alami. Tetapi nyatanya, itu adalah keegoisan. Dunia itu luas, gak selamanya hal yang aku pahami adalah benar. Dan manusia lahir untuk saling melengkapi dan membantu satu sama lain.

Kedua, bahwasanya kepribadian semua orang adalah kombinasi dari lingkungan dan pengalaman. Sejak kecil aku selalu diajari untuk menganggap segala hal yang dilakukan oleh mayoritas adalah kebenaran mutlak. Namun hal ini membuatku berfikir, jika aku lahir di Amerika misalnya, apakah hal yang aku anggap benar masih sama seperti yang aku pahami sekarang? Pastinya akan beda karena lingkungan akan mengajarkanku sesuatu yang lain yang dianggap benar. Aku juga diajari bahwa agama lain yang tidak sesuai dengan kepercayaanku tidak akan bahagia di akhirat. Dan soal berbagai larangan merayakan sesuatu, musik, ulang tahun, melukat, memegang anjing, dan lain sebagainya. Namun bagaimana jika aku terlahir sebagai pemeluk agama lain? Apakah pemahamanku masih tetap akan sama?

Di perjalananku, aku sempat menemukan percakapan dengan seseorang yang bilang bahwa,

"kebenaran itu selalu satu. yang beda adalah pemahaman masing-masing orang dan cara masing-masing orang dalam menemukan kebenaran itu. dimana mereka kebanyakan tidak mengajak orang lain untuk menemukan kebenaran, tetapi memaksa orang lain untuk mengikuti pemahaman dirinya sendiri"

Dan sampai sekarang, aku masih berusaha memahami dan mencari itu.

Ketiga, bahwasanya alam menghidupkan kita, bukannya diciptakan untuk kita. Selama ini aku paham kalau semua yang kubutuhkan sudah disediakan oleh alam. Alam dan semua keuntungannya seolah-olah diciptakan hanya untuk manusia. Padahal, manusia lah yang bisa hidup karena adanya alam. Tidak ada alasan sama sekali bagi manusia untuk merusaknya

Aku masih sangat siap untuk berada di perjalanan yang lebih jauh lagi. Mengunjungi tempat yang belum pernah kukunjungi di dalam ataupun di luar negeri, sendiri ataupaun sama siapapun nanti. Aku masih sangat siap untuk menerima segala pembelajaran baru atau hal yang saat ini belum kusadari.