Gua gak pernah terikat sama status pacaran. Di salah satu rumah makan di Kota Metro, gua tanya ke seseorang, "menurutmu, status itu penting gak?". Dia jawab, "status itu gak perlu, karena aku gak mau jadi pacar pertama kamu dan mantan pertama kamu".

Mantan?!. Saat itu padahal gua penuh berfikir soal bagaimana memulai hubungan. Mau bertahun-tahun kedepan pun, hubungan ini gak perlu diakhiri. Kenapa takut soal itu?

---

Dia, seseorang yang sangat gua syukuri keberadaannya. Gua sangat optimis akan hubungan ini. And I love her so so much, since 7 years and so on. Gua cuma mau dia merasa bahwa dia berharga, gak perlu bersedih terlalu lama, dia cukup, dan gua sangat serius sama dia untuk menjadikannya selamanya.

Kontak yang gak di-save, status yang di-hide, kontak yang di-blokir, cerita yang gak ditanggepin. Gua terlalu banyak memaklumi. Bahkan ketika dia bilang gw bangsat di chat walaupun dia hapus pesannya itu, gua pura-pura nganggep itu gak terjadi. Yang ada dipikiran gua adalah selalu, "Oke, dia belum dewasa sama keputusannya. Yang penting dia nyaman. Tapi gua janji bakal nemenin dia, belajar bareng-bareng, sampai kedepannya sama-sama sadar".

---

Dia bilang, "godaan terbesar laki-laki adalah wanita, dan kekurangan wanita adalah kelabilannya". Yang mana gua yakin itu adalah kalimat overuse yang dia temuin di suatu tempat, bukan dari pengalamannya.

Gak pernah terlintas sama sekali di pikiran gua untuk menjadikan relationship sebagai sebuah maksiat. Gua selalu berusaha menjaga orang yang gua sayang, dan gak akan ngebiarin dia disakitin dan diapa-apain, termasuk oleh gua sendiri. Orang-orang di lingkungan sekitar cuma terlalu over menggunakan definisi pacaran = zina. Dimana semua remaja-remaja dan komunitas beragamanya dia sangat anti soal itu. Mereka gak liat apa yang dilakuin, mereka cuma lihat statusnya. Bagi mereka, kebaikan apapun yang dilakuin, jika bersama lawan jenis yang bukan muhrim adalah dosa. Pacaran = no, taaruf = yes. Padahal pacaran rasa taaruf banyak, taaruf rasa pacaran juga banyak. Semua adalah soal niat.

Sampai di penghujung kejadian. Dia membuat keputusan yang sangat bodoh. Gua terlalu menyayangkan keputusannya yang sangat-sangat bodoh itu. Dia bilang mau mengubah cara dia peduli sesuai ajaran yang dia pahami. Dia memutus akses komunikasi dengan gua. Dia ngeblokir whatsapp gua. Bagi dia, berkomunikasi dengan gua hanya membawa dia ke hal-hal yang berdosa bagi dia. Padahal gua gak pernah sama sekali melakukan pembicaraan yang menjerumus sama dia.

Dia takut akan dosa, tetapi gak takut soal betapa menyakitkannya perkataan dan perbuatan mempengaruhi seseorang. Kenapa? karena dimana-mana, yang selalu dikoar-koar adalah pacaran = zina, bukannya memutus silaturahmi dan melukai perasaan = dosa.

---

Dari sekian banyaknya hari, dia cuma memilih untuk bilang di satu hari dan mengakhiri semuanya, dan mengharapkan respon gua secara langsung. Mengharapkan respon segera dari seseorang yang sedang emosi, patah hati, dan sakit secara langsung. Dan gua benci karena gua mengeluarkan kata kata yang seharusnya gak gua keluarkan, tapi karena kondisi yang syok, gua mengucapkannya. Gua bilang gua capek dan berharap kita gak pernah kenal, dan gua gak mau ketemu dia lagi. Yang mana gua gak pernah berniat begitu.

Dia berfikir cukup lama untuk bilang hal ini ke gua. Dia berdebat dengan pikiran dia sendiri tanpa melibatkan gua tentang apa yang akan terjadi. Tentang respon temen-temen, sakitnya hati dia, dan semua tentang dia. Selalu tentang bagaimana dia, bukan bagaimana gua. Dia selalu siap untuk segala hal yang mungkin terjadi kepada dia tanpa mempertimbangkan bagaimana gua nanti. How can she only thinks whats good for herself?

Dia menyesal karena kedekatan kita menjadi sumber dosa bagi dia. Dia gak bisa mengontrol dirinya sendiri dan dia malah menyuruh gua pergi sebagai solusi dari rumitnya dia sendiri. Dia bilang harusnya gua udah bener ngejauh dari dia sebelum berangkat ke bali. Dan itu rasanya sakit banget, dimana dia gak mikirin apa yang udah dilalui bareng-bareng. Belajar bareng, keliling bareng. Semua itu gak lain adalah kemaksiatan bagi dia. Dan selama ini ternyata dia ragu dengan apa yang kita lewatin bareng-bareng.

Gua selalu berfikir untuk membangun hubungan ke arah yang positif. Bukan kearah maksiat sama sekali. Dan itu yang emang gua lakuin. Harusnya dia juga paham karena dia yang ngerasain juga. Gua bahkan gak pernah meninggalkan hal-hal yang menjadi kewajiban agama ketika pergi dengannya. Dan hubungan ini gak selalu soal menyampaikan kata-kata kasih sayang. Gua selalu mencoba untuk membuat hubungan ini positif dengan belajar bareng soal skill baru apapun. Dan kita sebenernya udah melakukannya. Belajar komputer, les bahasa inggris bareng, belajar matematika, dan beberapa rencana yang lain. Bagi dia, semua itu apa?

---

Dia yang selalu bilang, "kalau kamu bosen, bilang", "tolong jangan tiba-tiba menghilang", "kalau kamu udah ada yang lain, bilang". GAK! GAK PERNAH ADA YANG LAIN. Dia selalu mikirin kemungkinan terburuk dimana gua selalu menjaga hubungan tetap optimis dan positif. Dan pada akhirnya, siapa yang memutuskan untuk menghilang? Dia. Dia sendiri yang memutuskan untuk menghilang dan dia sendiri yang berseru galau dan patah hati. Dan hal seperti ini udah terjadi 2 kali.

---

Dia bilang, "kalau memang gak bisa saling memahami, bukankah egois kalo kita harus bersama kedepannya?". Padahal gua selalu menekankan tentang KOMUNIKASI. Saling memahami adalah proses, bukan hasil. Bagaimana mau paham kalau dia hanya bergelut dengan pikiran dia sendiri, yang menghasilkan keputusan yang sepihak. Padahal gua udah sangat sangat terbuka soal apapun. Jadi kita selama ini melakukan hal yang bagi dia gak baik, tanpa gua tau. Gimana cara gua paham? Sebenarnya semua tinggal diomongin dan gua bisa menyesuaikan. Gua gak tau kenapa yang dipikiran dia selalu soal perpisahan dan semua kemungkinan terburuk. Dia selalu memikirkan sesuatu yang gak ada, sesuatu yang gak pernah berniat gua lakuin.

Dia memutuskan untuk pergi tanpa pernah berfikir gimana caranya bisa ketemu lagi. Simpel, sesuai apa yang lingkungan dia ajarin. "Kalo jodoh pasti ketemu, kalau nggak berarti bukan". Padahal gua yakin itu juga diiringi ikhtiar disalah satu dari kita. Sebelum memutuskan untuk menjauh dari gua, dia tanya "nanti ada hal penting yang mau dilakuin gak?". Dia bertanya untuk memastikan gua gak ke distract karena dia yakin keputusannya bisa mengganggu hari gua. Well, dia harusnya tau hal seperti ini akan selalu mengganggu gua sampai berbulan-bulan kedepan.

---

Jadi, ulang tahunnya 2 minggu lagi. Tahun kemarin gua membuat website ini untuk dia z18.tegarsantosa.com. Tahun ini, gua udah mempersiapkan segala hadiah. Seperti yang selalu gua bilang, baik untuk merayakan segala hal. Gak peduli jarak atau akses yang membatasi. Itulah alasan gua selalu minta foto pas perpisahan smp dulu. Gak lain adalah bagian dari kado ulang tahun buat dia. Untuk pertama kalinya gua buat lagu cengeng yang mana gua berniat untuk kasih di hari ulang tahunnya dia. Tapi tepat di awal bulan di bulan dia lahir, dia memutuskan hubungan dan blokir whatsapp gua.

Gua terpaksa menyimpan kembali semuanya. Termasuk semua rencana menyenangkan yang gua buat disuatu saat kita bisa ketemu lagi.

Sekian hal yang membuat gua benci jadi orang baik. Yang membuat gua takut pada harapan. Gua cuma berharap dia bakal dapet cowok yang lebih baik dari gua, dan dia gak memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan gua. Semoga dia dapet kesempatan kedua. Dan gua? Liat apa yang bisa si goblok ini lakuin.